RSS

JADILAH GELAS KOSONG

19 Nov

Sebuah analogi sederhana namun
kaya makna.
Jika kita memiliki gelas kosong, maka
kita dapat mengisinya dengan air
jernih sampai gelas itu penuh.
Namun jika gelas yang kita miliki
sudah penuh, kita tidak dapat
mengisinya lagi. Karena jika kita
paksakan, maka kita akan mendapati
air yang bertumpahan. Begitupun
jika gelas yang kita miliki hanya
kosong separuh, maka air yang
dapat kita isi hanyalah separuh
sisanya.
Dan jika analogi ini kita lihat dari
sudut pandang menuntut ilmu
ataupun mencari nasehat, maka kita
harus memposisikan diri kita sebagai
gelas kosong. Yang siap diisi oleh
ilmu, oleh nasehat, oleh kebaikan,
ataupun oleh kebenaran. Sehingga
apa-apa yang di berikan tidak
tumpah, melainkan selalu terserap.
Jadilah gelas kosong sepanjang kelas
kehidupan berlangsung.
Tidak berarti kita menjadi orang
yang apatis dan menerima
segalanya, sehingga mudah disetir.
Sama sekali bukan seperti itu.
Pasanglah antivirus di dalam akal
kita, yang akan menyaring semua
keabnormalan ide. Melindungi akal
dan hati kita dari keburukan yang
berbaju indah, yang di sodorkan
kepada kita. Jadilah kritis namun
jangan pesimis. Setelah menerima
apa yang ditawarkan, segeralah latih
akal untuk berfikir dan menggali
maknanya. Tarik semua
pembelajaran dan hikmah.
Jangan pula menjadi orang yang
penuh prasangka terhadap ide-ide
baru yang tidak familiar, terhadap
nasehat-nasehat yang tidak
diharapkan, atau kebenaran yang
tidak menyenangkan. Sehingga
walau gelas memang sudah kosong,
tetapi air tidak bisa masuk, karena
terhalang oleh sebuah ‘tutup gelas’.
Kita bisa melihat orang-orang
semacam itu di seminar/ pelatihan/
kelas/ pengajian. Ketika banyak
orang-orang yang menjadi cerah
wajahnya dengan ilmu yang baru di
terima, mereka justru selalu saja
dapat menemukan hal-hal negatif
untuk di bicarakan. Ketika orang-
orang lain menjadi bersemangat
untuk segera menerapkan ilmu baru,
mereka justru merasa menyesal
telah datang.
Bayangkan perbedaannya pada saat
kita menjadi gelas kosong, gelas
separuh kosong, dan gelas penuh.
Itulah keberagaman jenis orang yang
hadir di sebuah lingkaran ilmu.
Sehingga di akhir majlis, ada orang-
orang yang menjadi tercerahkan dan
memahami hampir semua materi,
ada orang yang separuh paham,
namun ada pula orang yang malah
bingung dan sama sekali tidak
mengerti.
Sang guru sedang menuang ilmunya
di majlis itu. Ilmu yang berupa
gabungan dari nasehat, hukum,
kebenaran, dll. Hanya gelas yang
kosong yang dapat menampung
semua itu.
Coba kita tanya diri kita sendiri,
berapa kali kita menghadiri
pelatihan/ seminar/ pengajian,
namun akhlak kita belum berubah ?
Apa itu karena kita belum ikhlas
menerima semua ilmu itu, sehingga
kita tidak meluruskan niat dan
benar-benar berusaha menjadi gelas
kosong yang bisa menampung
semua ilmu. Atau malah, kita
memang sengaja tidak
mengosongkan gelas dan malah
memasang tutup, sehingga semua
ilmu itu tertolak.
Apakah di saat itu kita sedang
sombong ? Karena yang di maksud
sombong itu adalah menolak
kebenaran dan meremehkan
manusia ( HR. Muslim ).
Mungkin tutup yang terpasang erat,
adalah upaya kita untuk menolak
melihat kebenaran yang di bawa
oleh ilmu itu?
Mungkin juga kah, penolakan kita
untuk mengosongkan gelas dan
menampung semua ilmu yang akan
datang, adalah dari sikap kita yang
meremehkan sang guru,
meremehkan jenis ilmu yang di
berikan, meremehkan tempatnya,
dll.
Astaghfirullahal’adzhim.
Padahal jika kita tidak sesombong
itu, dan kita bersedia mengosongkan
– setidaknya-sebagian dari gelas kita
untuk menampung kucuran air yang
jernih,
Walau setengah bagian dari gelas
kita saat itu hanya terisi oleh air
yang keruh.
Namun ketika kita sudah tidak
sombong lagi, dan bersedia
menerima ilmu. Maka,
Air jernih akan mengucur dan
mengisi ruang gelas yang kosong
hingga penuh. Bercampur dengan air
keruh di dalam gelas. Kekeruhan air
itu memudar karena tercampur oleh
air bersih. Lalu ketika kita terus
menerima , maka air didalam gelas
akan mulai meluap dan tumpah.
Dan tahukah, air seperti apa yang
terbuang pada saat itu ? Ya benar,
air yang terbuang dari gelas kita
adalah air keruh itu. Sehingga yang
tertinggal di dalam gelas kita
hanyalah air yang jernih.
***
Bagaimana jika kita yang menjadi
orang yang membagi ilmu, menjadi
orang yang menuangkan air,
menjadi si pemberi nasehat ?
Orang-orang yang di kirimkan
kepada kita yang membagi
masalahnya kepada kita, ada yang
datang hanya ingin bercerita tanpa
berharap nasehat, dan ada pula
yang berharap solusi.
Sehingga kita harus pandai-pandai
melihat, apakah gelas yang kita
hadapi tertutup, kosong, atau terisi
sebagian. Karena dengan
mengetahui keadaaan orang yang
bersangkutan, kita akan mampu
mengatur tingkat pengharapan kita.
Tingkat pengharapan ; adanya
respon positif terhadap nasehat kita,
diterimanya nasehat kita,
dijalankannya solusi-solusi yang kita
berikan, dll.
Memang jika orang yang tersebut
adalah orang yang dekat dengan
kita, yang kita sayangi, maka kita
akan menjadi sangat subjektif. Kita
akan berusaha sekuat mungkin
untuk menolongnya. Tingkat
pengharapan kita kepadanya akan
sangat tinggi. Kita terus berharap
agar orang yang bersangkutan akan
berubah. Dan ketika orang yang di
harapkan untuk berubah, ternyata
tetap melakukan hal yang sama
atau bahkan lebih buruk, maka kita
akan sangat kecewa. Hal itu karena
harapan kita kepadanya sangatlah
tinggi, sehingga sakit rasanya ketika
jatuh.
Namun inilah tantangannya. Setiap
dari kita memang wajib
mengingatkan, wajib saling memberi
nasehat, namun kita tidak akan di
minta pertanggung jawabannya
terhadap hasil nya kelak. Bahkan
Rasulullah saw pun hanya bertugas
sebagai pemberi peringatan dan
sebagai suri tauladan.
Salah satu cara untuk me’manage’
pengharapan kita, maka kita harus
jeli melihat. Jika orang itu datang
membawa gelas kosong dan kita
bisa mengisi penuh gelas itu, maka
kita dapat berharap lebih dari orang
yang membawa gelas yang hanya
setengah kosong. Dan jika orang itu
membawa gelas yang terpasangi
tutup, kita dapat menyadarinya dan
terhindar dari kekecewaan.
Bukankah kita telah di ajari, bahwa
jika kita melihat ketidakbenaran
terjadi; maka kita dapat merubahnya
dengan tangan kita. Jika tidak bisa ,
maka kita dapat berusaha
merubahnya dengan lisan kita, dan
jika kita tidak mampu, maka kita
dapat menolaknya dengan hati kita,
walau itu adalah selemah-lemahnya
iman.
Kita dapat merubah seseorang/
lingkungan dengan tangan kita,
pada saat kita memiliki
kewenangan / kekuasaan terhadap
mereka. Dimana kita dapat memberi
konsekuensi terhadap keburukan
yang terjadi, dan di harapkan
dengan konsekuensi itu, orang/
lingkungan menjadi kapok dan
berubah.
Namun lebih seringnya, kita hanya
mampu menasehati dengan lisan,
ataupun hanya mampu tuk
mendoakan di dalam hati. Dan
karenanyalah kita harus mampu
mengontrol tingkat pengharapan
kita. Karena ketidak mampuan
mengontrol pengharapan kita, dapat
berbuah menjadi rasa kecewa yang
berlipat-lipat, dan dapat berakhir
dengan rasa cuek terhadap apapun
yang terjadi dengan orang yang
bersangkutan. Kita menjadi apatis.
Berbeda ketika kita sudah mampu
mengelola pengharapan kita. Kita
akan ikhlas memberi ilmu,
menasehati, menolong, tanpa
berfikir tentang di terima dan
dijalankannya nasehat-nasehat kita.
Jika di jalankan, maka insyaAllah kita
akan terhindar dari sikap puas diri,
dan kalaupun di tolak kita akan
terhindar dari sikap berputus asa.
Pada saat itu kita bukanlah bersikap
cuek kepada orang yang
bersangkutan, namun kita bersikap
tawakkal. Menyerahkan segala
sesuatunya kembali kepada Allah.
Namun jika orang yang
bersangkutan, kelak menyadari
semua kesalahannya, datang
kembali meminta nasehat, meminta
tolong agar di bantu, dan ber azzam
ingin berubah. Maka saat itu kita
wajib untuk kembali menasehati,
kembali mengingatkan kepada
kebaikan. Kembali berada di sisinya ,
sebagai saudara/i sesame muslim.
Sebagai sebuah bangunan utuh.
Wallahu’alam

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 19 November 2010 inci Spiritual

 

Tinggalkan komentar